header coretan ibu kiya

Pipit bisa Mandiri, Ibu

Posting Komentar
oleh Nining Purwanti

Dua bulan telah berlalu semenjak kelahiranku di dunia. Namun, hingga kini aku masih disuapi dan disiapkan segala keperluanku oleh ibuku tercinta.

Sungguh, ini bukan keinginanku. Aku pun punya malu. Bila pagi datang, mendadak ciut kembali nyaliku. Berharap malam berjalan lebih panjang.

Andai kalian tahu, sesungguhnya aku pun ingin seperti teman-temanku yang sudah bisa terbang ke sana kemari, bermain bersama dan mencari makan sendiri.

“Ah, kenapa Allah harus menciptakan aku berbeda?”, keluhku setiap kali rasa minder dan putus asa melanda. Ya, aku memang berbeda dengan teman-teman sebayaku. Cacat di bagian sayap yang kumiliki sejak lahir telah memenjara ruang gerakku.

Di saat teman-temanku yang lain sudah bisa terbang dan mandiri, aku masih belum kuat mengepakkan sayapku, hingga segala sesuatu masih bergantung pada ibu dan ayahku.

***

“Pipit… Pipit… main yuk.”, suara keras teman-temanku memanggil pagi itu membuyarkan lamunanku. Namun, aku sedang enggan untuk bermain hari ini.

Diluar dugaanku, Acil, si kancil yang baik hati sudah melongok di jendela kamarku yang terbuka.

“Pipit, ayo kita main. Apakah kamu sedang sakit?”, tanyanya dengan tatapan penuh makna.

“Tidak, aku hanya sedang malas keluar saja.”, jawabku dengan seulas senyum yang terpaksa.

“Kalau begitu, bolehkah kami masuk dan main di rumahmu?”, tanya Sriti yang tiba-tiba muncul dari balik tubuh Acil.

“Teman-teman, sepertinya Pipit sedang tidak enak badan dan ingin sendiri. Sebaiknya kita pergi dan membiarkannya istirahat.”, kata Acil bijak.

Tiba-tiba, semangatku kembali datang.
“Teman-teman, tunggu.”, teriakku ketika mereka sudah beranjak meninggalkan jendela kamarku.

“Maukah kalian menolongku”
“Sebenarnya, aku malu mengatakannya. Namun, aku sudah tak sanggup menyimpannya sendiri. Aku ingin bisa jadi anak mandiri, aku iri setiap kali aku melihat Sriti, dan teman-teman yang lain asyik terbang ke sana kemari, dan bisa mencari makan sendiri.”

“Ibuku sudah mengajariku dengan penuh kesabaran, tapi hasilnya belum maksimal. Mungkin jika aku terus belajar terbang bersama kalian setiap hari saat ibuku pergi mencari makan buat keluarga kami, aku bisa terbang dengan segera seperti kalian.”, ceritaku panjang lebar dengan tertunduk malu.

“Kenapa engkau tak pernah mengatakannya pada kami. Tak usah malu pada kami, karena kita bersaudara, sudah seharusnya saling membantu dan berbagi.”, jawab Acil.

“Iya, Pipit. Kita kan teman sejati.”
“Ayo keluar, kita belajar bersama-sama di lapangan.”, seru teman-teman yang lainnya.

***
Sejak hari itu, aku selalu berharap pagi segera menjelang. Agar aku bisa segera belajar terbang bersama teman-temanku yang menemani dan melatih dengan penuh kesabaran.

Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan, hingga entah sudah berapa lama aku belajar tak ku perhatikan.

Pagi itu, aku lebih semangat dari hari biasanya. Seusai sarapan, ayah dan ibu pergi ke hutan mencari makan seperti hari-hari biasanya.

Aku segera berlari ke lapangan dan menanti teman-temanku. Entah mengapa, ada keyakinan yang begitu kuat dalam hatiku bahwa aku pasti bisa melakukannya.

“Kepakkan sayapmu perlahan, rasakan setiap gerakannya, dan kuatkan keyakinan dalam hatimu bahwa engkau memang mampu.”, kata-kata Sriti pagi itu terdengar merdu dan membangkitkan semangatku.

Kupejamkan mata, perlahan kukepakkan sayapku, semakin lama semakin kencang dan sepenuh tenaga.

“Bismillah, aku bisa.”, pekikku dalam hati sambil melompat seperti biasanya. Kurasakan tubuhku begitu ringan, dan tak menyentuh tanah. Semakin lama semakin ringan, tak terdengar suara teman-temanku lagi seperti hari-hari sebelumnya setiap kali aku jatuh terjerembab dari ranting pohon tempatku belajar.

Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk membuka mata, hanya warna putih yang nampak di pelupuk mata. Semakin lebar kubuka mata, semakin takjub aku dibuatnya.

Hamparan langit luas dan hembusan angin yang menerpa wajahku seolah menyadarkanku bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata. “Alhamdulillah, aku sudah bisa terbang sendiri”, teriakku dengan lantang.

Aku terus berucap syukur, dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada teman-temanku yang begitu baik.

***

Sore itu, sengaja kuhidangkan semua makanan hasil perburuan pertamaku untuk ayah dan ibuku. Betapa terkejutnya ibu ketika pulang. Tak ingin membuat ibu bertanya-tanya, segera kuceritakan saja semuanya.

Dengan lembut ibu membelai kepalaku, “MasyaAllah, engkau adalah anugerah terindah dalam hidup ibu, Nak. Di tengah keterbatasan ibu untuk mendampingimu, tak mematahkan semangatmu untuk berusaha mandiri, hanya untuk meringankan beban ibu.”

“Karena kesungguhanmu dalam belajar sendiri dan keyakinanmu yang kuat, Allah berikan mukjizat. Sebagaimana pesan bijak, barang siapa yang bersungguh-sungguh dalam usahanya, maka Allah akan membukakan jalan untuknya. Dan kini, engkau sudah membuktikannya.”

“Terima kasih sudah menjadi putri ibu yang luar biasa dan istimewa.”, bisikan lembut ibu penuh haru sambil memeluk erat tubuhku malam itu akan menjadi kenangan terindah sepanjang usiaku.

#30DEM

#30dayemakmendongeng

#day2

#AkuAnakMandiri
Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

Posting Komentar