header coretan ibu kiya

Sasa Bermain Cublak-cublak Suweng

Posting Komentar
Oleh Nining Purwanti

Cublak-cublak Suweng
Permainan Cublak-cublak Suweng (gambar dari merahputih.com)

“Sayang … jangan lama-lama, ayah sudah menunggu kita di mobil. Hari sudah beranjak siang, nanti bisa terjebak macet di jalanan.” ucap ibu Sasa dari luar kamar. Dengan langkah tak bersemangat, Sasa keluar kamar dan mengikuti ibu menuju ke mobil.

Setelah memastikan rumah aman dan mengingatkan bibi untuk tidak lupa melakukan rutinitas sehari-hari seperti biasanya, ibu pun segera masuk mobil. Ayah pun segera menyalakan mobil dan memulai perjalanan hari itu.

Sementara ibu dan ayah asyik mengobrol, seperti biasanya … pikiran Sasa melayang kemana-mana. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya tiga hari ke depan.

Harusnya mulai hari ini hingga seminggu ke depan ia bisa menikmati liburan yang menyenangkan. Berkumpul dan jalan-jalan ke supermarket bersama teman-temannya, seharian menyaksikan acara favorit dan artis kesayangannya melalui layar kaca, bertamasya ke tempat wisata bersama keluarganya, atau paling tidak dia bisa main game dan menyaksikan video-video di youtube melalui gawai sepuasnya. “Ahh … semua rencanaku gagal karena ayah!” batin Sasa melupakan ketidaksenangannya.

Selama  tiga hari ke depan, ia harus mengikuti ayah bertugas di luar kota. Ayah mendapat tugas tambahan untuk mengunjungi proyek pembangunan di sebuah desa terpencil di lereng gunung Ungaran, kab. Semarang.

Ini pertama kalinya Sasa akan ke sana. Menurut cerita yang ia dengar dari teman-teman dan saudaranya, di desa kecil itu tidak ada gedung-gedung tinggi, tidak ada mal, gedung bioskop, dan semua yang disukainya di Jakarta ini. Jangankan gawai, anak-anak di sana pun katanya jarang menonton televisi, karena minimnya listrik. Duh … membayangkan betapa membosankan hari yang akan dilaluinya nanti membuat kekesalan Sasa semakin menjadi.

“Sasa kenapa, sayang? Kalau mengantuk, tidur dulu saja … perjalanan kita masih lama.” kata Ibu sambil tersenyum. Sasa menggelengkan kepala. “Oiya, nanti kan di sana aku pasti kesulitan untuk mendapat sinyal.” pikirnya. Ia pun segera mengambil gawai dari dalam tas dan mulai asyik bermain dengan gawainya.

Semakin lama mobil semakin menjauh dari hiruk pikuk kota Jakarta. Suasana jalanan yang lengang dan nyaman, gedung-gedung tinggi yang menjulang berganti menjadi hamparan sawah hijau yang membentang, dan pemandangan lain yang menyejukkan. Sesekali Sasa pun lupa dengan gawainya dan asyik menikmati keindahan alam dari balik kaca mobilnya.

Setelah beberapa kali berhenti untuk istirahat, dan melakukan perjalan selama kurang lebih delapan jam lamanya, sampailah mereka di desa yang dituju. Mobil pun berhenti di sebuah rumah dengan halaman yang begitu luas. Meski saat itu hari sudah mulai gelap, tetapi masih banyak anak-anak yang bermain, berlarian, dan berkejaran di luar rumah.

Pemandangan yang sangat berbeda dengan rumah Sasa di Jakarta. Biasanya, jam segini keluarganya sudah masuk ke kamar, bermain laptop, gawai atau asyik menyaksikan acara televisi favorit masing-masing.

Di desa ini … anak-anak bermain bersama di jalanan depan rumah, sementara orang tua mereka duduk-duduk bergerombol asyik mengobrol sambil makan jajan tradisi dan ngeteh bersama. Diam-diam hati Sasa takjub, dan terbersit rasa iri dengan apa yang dilihatnya di sini. “Sungguh bahagianya anak-anak itu.” pikir Sasa.

“Sasa … ayo masuk, Nak.” suara Ibu mengagetkan Sasa. Setelah acara ramah tamah dengan keluarga Pak Rahmat, sang tuan rumah yang akan menjadi tempat tinggal Sasa selama di sini, Sasa kembali keluar, dan ia berdiri di depan pintu menyaksikan keriuhan anak-anak seusianya itu.

“Nani, sini sayang.” teriakan Bu Rahmat membuyarkan lamunan Sasa. Bu Rahmat pun memperkenalkan Sasa dengan anaknya, Nani namanya. Atas inisiatif Rani, Sasa ikut bergabung dan berkenalan dengan teman-temannya. Lalu mereka pun kembali asyik dengan permainan masing-masing.

“Kalian sedang main apa?” tanya Sasa memberanikan diri untuk bertanya setelah sesi perkenalan selesai. “Lhoh … memangnya di tempatmu ndak ada to permainan seperti ini, Sasa?” tanya Siti teman barunya, dengan polos. Sasa pun menggelengkan kepalanya.

“Anak-anak laki-laki itu sedang main setinan kalau Roni itu main egrang. Biasanya … kalau siang hari makin banyak jenis permainan yang kami mainkan, ada gobak sodor, engklek, bekelan, bentik, congklak. … Kalau malam kami hanya melakukan permainan yang tidak perlu menguras tenaga.” cerita Nani panjang lebar.

“Ayo ikut main bersama kami, Sasa.” kata Siti kemudian. Sasa pun jongkok di samping Siti, dan mendengarkan penjelasan Nani. “Ini namanya cublak-cublak suweng …”

“Cara bermainnya mudah kok. Yuk kita gambreng dulu.” Sasa pun mengikuti arahan teman-temannya. “Wah … Siti yang jadi pak empo.” teriak teman-teman sambil tertawa bersama.

“Jadi … dalam permainan ini, yang kalah gambreng menjadi Pak Empo. Siti akan telungkup di tengah, anak-anak lain duduk melingkari Siti. Nah, kita buka telapak tangan menghadap ke atas dan letakkan di punggung Siti (Pak Empo). Salah satu anak memegang biji/ kerikil dan dipindah dari telapak tangan satu ke telapak tangan lainnya diiringi lagu Cublak-Cublek Suweng.” jelas Nani pada Sasa sambil praktik bersama.

“Lagunya begini, Sa … Cublak cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundung gudel. Pak empo lirak-lirik, sapa ngguyu ndelekake. Sir sir pong dele gosong, sir sir pong dele gosong”.

“Nanti, pas sampai kalimat, ‘Sapa ngguyu ndelekake’ serahkan biji/ kerikil ke tangan seorang anak untuk disembunyikan dalam genggaman ...”

“Di akhir lagu, semua anak menggenggam kedua tangan masing-masing, pura-pura menyembunyikan kerikil,  sambil menggerak-gerakkan tangan. Pak Empo bangun dan menebak di tangan siapa biji/ kerikil disembunyikan. Bila tebakannya benar, anak yang menggenggam biji/ kerikil gantian menjadi Pak Empo. Bila salah, Pak Empo kembali ke posisi semula dan permainan diulang lagi.”

“Begitu permainannya Sa, mudah kan?” tanya Nani mengakhiri penjelasannya. Setelah itu permainan pun dimulai, dan Sasa telah asyik menikmati permainan bersama teman-teman barunya. Sesekali dia tertawa lepas karena kelucuan yang tanpa sengaja tercipta.

Malam itu, Sasa benar-benar merasakan kebahagiaan, dan ia sudah tak sabar untuk menanti esok pagi menjelang. Ia ingin segera belajar permainan-permainan tradisional yang begitu mengasyikkan dan menyehatkan bersama teman-temannya. Ia pun telah lupa dengan gawainya.


#30DEM
#30dayemakmendongeng
#day14
Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

Posting Komentar