header coretan ibu kiya

Bunda Khadijah dan Nabi Muhammad Sahabat Terbaikku

Posting Komentar
Coretan ibu kiya
Kiya's Story

Kulihat jarum jam di dinding menunjukkan pukul 09.15. Artinya, sebentar lagi anak-anak itu pulang dari sekolah. Di jam luar sekolah seperti ini, mereka akan menghabiskan waktu bermain. Terkadang, mereka yang akan bertandang dan ikut bermain dengan mainan sederhana yang putriku punya, atau sekadar membaca buku sekenanya. Ya, karena hanya kedua itulah harta yang aku punya sebagai media belajar buah hatiku tercinta.

Jika sudah bosan, atau sedang tidak mood untuk bermain buku di rumah. Putriku yang akan bertandang ke rumah sebelah, tentu saja tak akan kuizinkan terlalu lama, karena biasanya mereka di sana akan asyik masuk mengerubuti gawai bersama-sama. Bukan karena tak ingin putriku pandai bergaul, tetapi aku sudah punya pakem tersendiri mengenai batasan waktu untuk buah hatiku bersentuhan dengan gawai yang membahayakan itu.


"Ibuk, Kiya boleh main sebentar ke rumah Mbak?" tanya putriku lembut saat aku sedang asyik masyuk dengan tumpukan cucian. "Mau ngapain?" tanyaku retoris, hanya untuk meyakinkan. "Main. Sebentar aja. Ndak lama kok" jawabnya dengan nada penuh rayuan. Bayangannya segera menghilang dari pandangan setelah kuberikan anggukan sebagai tanda persetujuan.

Perasaanku gusar, pikiranku melayang. Ketakutan pada hal-hal yang tidak kuinginkan, seperti melihat tontonan yang tak seharusnya, bermain bersama anak-anak lelaki yang sudah besar, atau takut anakku kena bully-an selalu menghantui. Namun, kucoba untuk menaruh kepercayaan penuh pada buah hati, tentang segala kemungkinan dan tindakan yang harus ia lakukan jika mengalami berbagai ancaman. Ya, dia sudah besar, 4 tahun sudah kini usianya, meski terlihat biasa saja, bagiku ia selalu tampak lebih bijak pemikirannya daripada anak lain seusianya.

"Qomaruunn ... Qomaruunn ..." terdengar suara merdu yang tak asing lagi bagiku. Segera kualihkan pandangan dari piring-piring yang timbul tenggelam di hadapanku.

"Lhoh. Kok sudah pulang?" tanyaku heran. Karena tak biasanya ia akan pulang secepat ini saat sudah asyik berkumpul dengan teman-temannya.

"Iya. Lha tadi Kiya mau main, terus lagi pada duduk-duduk lihat Hp. Pas Kiya mau ndeketin, tangannya Rahma gini-gini" jelasnya sambil mengangkat dan menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

"Owh, Kiya ndak boleh ikut main?" tanyaku memastikan. Ia pun mengangguk.

"Kiya sedih?" tanyaku sambil mendekatinya. "Nggak." jawabnya sambil tersenyum.

"Kiya ndak sedih? Beneran?" tanyaku yang masih tak percaya dengan reaksinya kali ini. Biasanya, ia akan meluapkan kesedihannya dan menangis sepuasnya dalam pelukanku, tapi kali ini gadis kecilku menjawab tanpa ragu. Bahkan sambil menyunggingkan seutas senyum yang melegakan. Kuacungkan dua jempol untuknya, sambil memuji kelapangan hatinya.

"Kiya inget kata Ibu. Kalau temen Kiya Ndak minjemin mainan, atau ndak mau main sama Kiya, Kiya ndak usah sedih. Kan Kiya masih punya teman banyak. Ada Ayah, ada Ibu, ada Nabi Muhammad, ada Bunda Ratu Khadijah yang sayang sama Kiya. Iya kan, Bu?" tanyanya sambil menunjukkan binar bahagia.

"Kemarin to Bu, si Kiki kan jahatin Mbak. Nah, Kiya juga bilang sama Mbak. 'Jangan sedih, ayo main ke rumah Kiya aja. Nanti pintu rumahnya kita tutup ya, biar Kiki ndak bisa masuk rumah Kiya." ceritanya sambil menggebu-gebu.

"Memang jahatnya bagaimana?" tanyaku penasaran. Dan ia pun memulai kisahnya yang panjang kali lebar.

***

Selalu belajar darimu, Nak. Yang begitu mudah memaafkan. Begitu cepat paham, dan memiliki hati yang begitu lapang. Semoga Ibu senantiasa bisa menjadi teman bermain dan seperjalananmu yang menyenangkan. đŸ˜‡

___
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis 10 hari Najmubooks Publishing.
#TM10Najmubooks

Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

Posting Komentar