header coretan ibu kiya

NIR Cafe : Surga Buku yang Tersembunyi

1 komentar
Oleh N. Purwanti

Cafe buku
Instagram : @nirspace

Sore itu, si Cinta sudah berdandan rapi, mengenakan celana panjang berwarna abu-abu, dan kaos pink dengan renda-renda putih pilihannya. Semenjak mendapat kepercayaan dari ibu dan ayah untuk memilih dan memakai sendiri, memilih baju menjadi kegiatan yang membuatnya melonjak kegirangan. Yeay … aku sudah besar, sudah dapat kepercayaan dari Ayah dan Ibu untuk menentukan pilihanku. Seperti itu mungkin jika diterjemahkan.

“Bajunya sudah benar, Yah?”,
“Kiya bisa to, Yah?” rentetan pertanyaan keluar dari mulut mungilnya setiap kali selesai berdandan. Memakai bedak, handbody, minyak wangi semua ia lakukan sendiri. Satu-satunya kegiatan yang pasti minta bantuan pada ibu hanyalah menyisir rambutnya yang ikal menawan. Karena ia masih kesulitan mengatasi lalu lalang rambutnya yang bergelombang. 😁

Persiapan selesai. Setelah memastikan barang bawaan, dan mengunci pintu dengan aman kami pun berangkat. Ayah menjanjikan pada si Cinta untuk jalan-jalan ke cafe milik Tante Ika.

Kegiatan ke luar rumah menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu oleh si Cinta. Lebih-lebih jika ke alam terbuka. Namun, jika bukan pun tak akan pernah mengurangi rasa bahagianya.

Ia memilih duduk di depan, tak lupa memakai kacamata supaya aman. Lengkap dengan jilbab panjang berwarna kuning pemberian dari bude Sinem, senyum sumringah gadis kecil itu kian membuat mata yang melihatnya kesengsem.

“Bismillahirrahmanirrahim.” ucapnya lantang. Ia menikmati perjalanan dengan bernyanyi dan bertanya jika ada hal menarik yang ia temui. Namun kali ini, baru seperempat perjalanan dari tempat tujuan, suaranya sudah tak terdengar lagi, ternyata angin sepoi-sepoi yang datang menyapa begitu membuai dan membuat si Cinta terkantuk-kantuk tak tertahankan.

Usai memindahkan si Cinta duduk di tengah, perjalanan pun dilanjutkan. Tak butuh waktu lama, sekitar setengah jam kami pun sampai di tempat tujuan.

Sebuah rumah biasa, dengan pelataran yang luas, penerangan yang sedikit gelap, atau bisa dikatakan sengaja dibikin remang-remang. Beberapa pohon berbeda ukuran berdiri kokoh di halaman, dan aroma tanah selepas hujan menyapa kedatangan kami dengan kegembiraan. Di teras, ada sebuah meja kayu lengkap dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Sementara pada dinding, terpampang jelas tulisan “NIR cafe” dengan latar gambar-gambar artistik yang tak sempat kutanyakan apa maknanya pada sang pemilik.

“Owh ini to.” batinku. Nama NIR Cafe sudah tak asing lagi bagiku. Karena sudah berkali-kali kulihat dalam flyer-flyer yang sering muncul di beranda FB sahabatku, tak jarang pula muncul di WAG komunitas yang aku ikuti.

Ya … cafe ini sering dijadikan tempat diskusi terbuka maupun bedah buku oleh para sastrawan, penulis, pemerhati dunia seni dan sastra di wilayah Semarang, begitu yang kutahu selama ini. Namun, baru kali ini aku baru bisa menyambangi.

Bangunannya seperti rumah penduduk, biasa saja. Tanpa pernak-pernik memukau yang umumnya menjadi perhatian utama seperti cafe-cafe yang marak bertebaran di mana-mana. Ya … jauh berbeda dengan imajinasi 'cafe’ dalam benakku.

Cafe buku
Instagram : @nirspace

Memasuki pintu cafe, pandanganku langsung tertuju pada deretan meja yang terletak tepat di tengah-tengah cafe ini. Meja kayu biasa, dengan kaki-kaki dari besi, lengkap dengan deretan kursi yang saling berhadap-hadapan. Yang membuatku terpana, di atasnya berjajar rapi buku-buku beraneka warna. Kudekati buku-buku itu hingga lupa mengucap salam, dan tak menyadari jika di pojok kanan ruang itu juga ada orang.

“Andrea Hirata, Ayah.” buku inilah yang membuatku terpukau, karena letaknya paling awal tepat di mana mataku menyasar. “Kok yo pas men. Di sini pun kita dipertemukan.” batinku. Ya … Andrea Hirata-lah motivatorku dalam bentuk buku, meski kami belum pernah bertemu, tetapi karena bukunyalah selangkah lagi aku akan meraih mimpi terbesarku. Kelak, akan kuceritakan bagaimana ia bisa menjadi guruku.

“Assalamualaikum.” ucap suamiku sambil memasuki Cafe, dan dijawab oleh Tante Ika yang sedang asyik beberes di salah satu sudut ruangan itu. Sementara Kiya masih pulas dalam gendongan, mataku sibuk menyapukan pandangan ke seluruh ruangan.

Cafe ini tak begitu luas, tetapi suasananya tenang, nyaman layaknya rumah. Di sudut kiri dekat dengan jendela, terdapat meja dan kursi, yang lagi-lagi dari kayu, dengan empat kursi yang mengitari.

Di sampingnya, ada sepaket meja kursi juga dengan penataan yang berbeda. Di temboknya terpampang sebuah papan lengkap dengan lukisan-lukisan sketsa wajah dan berbagai gambar yang ditata begitu artistik, karya sang empunya cafe yang ternyata memang lulusan seni rupa kata Ayah Kiya.

Di sudut kiri paling dalam ada meja kayu besar dengan penataan seperti di bar. Di situlah tempat untuk memesan minuman dan makanan. Menu dan harga terpampang jelas dalam papan tulis panjang, sehingga tak perlu banyak bertanya, pengunjung bisa langsung memesan.

Di meja besar itu berjajar buku-buku, mulai dari novel lama hingga terbaru berdesakan menjadi satu. Di samping meja pemesanan, terdapat panggung kecil dari kayu, tak terlalu lebar, tetapi cukup meyakinkan. Barangkali inilah tempat para pembicara, dan musisi menyampaikan unek-uneknya. Karena selain buku, juga kulihat ada gitar di sana. Bukan … bukan gitar biasa, melainkan gitar bagus yang biasa digunakan oleh musisi yang mumpuni.

Tepat di samping panggung, ada meja kecil sebagai sekat. Di atasnya terdapat beberapa macam mainan, papan catur salah satunya. Di sudutnya ada rumah besi yang diperuntukkan bagi kucing-kucing di sini.

Ya … semenjak kedatanganku, kucing-kucing lucu itu menyambutku. Tak hanya satu, tapi aku lupa berapa jumlah pastinya. Menurut cerita Tante Ika, kucing-kucing itu mereka temukan terlantar di jalanan, lalu dibawa pulang, dibersihkan dan dirawat dengan baik hingga sekarang.
***
Setelah puas berkeliling, kujatuhkan pilihan pada meja kursi di sudut ruangan sebelah kiri. Sebuah meja kayu bundar yang bentuknya tak beraturan, dikelilingi empat buah kursi rotan. Artistik dan unik.

Malam itu, kami memesan lemon tea, kopi, roti bakar cokelat keju, dan onion ring. Menu yang disajikan tak banyak, tetapi rasanya benar-benar enak. Semua itu terbukti dengan Kiya yang berkali-kali memuji, “Enak ya, Bu.” dan hampir semua menu ia habiskan sendiri. Begitulah gadisku, yang selalu jujur dalam ucapan maupun tindakannya. Ia tak segan memuji berkali-kali jika apa yang ia dapati layak diapresiasi. Sebaliknya, ia akan berterus terang tentang perasaan tidak sukanya jika tidak sesuai dengan harapannya. Sungguh berbeda dengan orang dewasa, yang sudah terintimidasi oleh budaya kepura-puraan. 😄

Semakin malam, semakin banyak pengunjung yang datang. Ada yang berduaan, ada pula yang beramai-ramai dengan rombongan. Jangan berharap akan kau temukan suara-suara bising, dan keriuhan layaknya cafe kebanyakan. Di sini, para pengunjung asyik larut dengan keheningan. Sesekali kucuri dengar mereka asyik berdiskusi tentang karya sastra yang sedang mereka rampungkan, lalu kembali asyik menggerakkan jari-jari  tangan dengan piawai di atas laptop. Ada pula yang asyik masuk membaca buku kesukaan.

Setelah beres dengan pekerjaannya, Tante Ika menghampiri kami, dan ia pun mulai terlibat perbincangan serius dengan suamiku. Karena memang itulah tujuan kedatangan kami ke sini. Sementara si Cinta sesekali berkeliling, lalu asyik mengamati si kucing. Sedang aku? Tentu saja, tak kusia-siakan waktu yang kupunya untuk bercengkrama dengan Ayah-nya Andrea Hirata.


___
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis 10 hari Najmubooks Publishing.

#TM10Najmubooks

Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar