Oleh N. Purwanti
Cerita Kiya |
Kurapikan jilbab putih yang kukenakan, jilbab langsung pakai yang selalu menjadi teman setia dalam setiap perjalanan. Setelah kupastikan tak ada cela, segera kututup pintu kamar dan turun untuk menemui belahan jiwaku yang sudah menanti di depan.
Dari pintu tengah, tampak putriku sedang asyik menari-nari, mengikuti irama lagu yang mengalun syahdu dari layar kaca. Ah, betapa cerianya dia setiap kali diajak keluar rumah dan bercengkrama dengan angin di jalanan. Malam ini, kami ada janji dengan seorang sahabat. Om Fatkhul dan Tante Ratih, Kiya biasa memanggilnya. Sahabat dari ayah dan ibunya dari semasa kuliah hingga kini sudah berkeluarga.
Sebenarnya, Kiya bukan tipe anak yang mudah dekat dengan sembarang orang. Namun, barangkali karena kekuatan magis dari Yang Maha Kuasa, hanya dalam perjumpaan pertama ia langsung kesengsem dan lengket dengan Om dan Tantenya.
“Sudah siap, Bu?” tanya suamiku mengejutkan.
“Sudah. Ayo kita berangkat.” jawabku sambil tersenyum. “
“Lho. Kiya ndak pakai jaket?” tanya suamiku lagi, mengingatkan.
Astaghfirullah. Segera kuambil jaket di kamar, dan kupakaikan. Tubuh mungilnya terbalut tunik model pinguin berwarna ungu, dipadukan dengan celana panjang bahan kaos berwarna abu-abu. Jilbab putih dengan model dan warna sama persis yang kukenakan menutupi rambut kriwilnya. Tak lupa, jaket tebal warna ungu muda dengan motif kepala kelinci yang imut sebagai luaran, untuk melindungi tubuhnya dari angin malam. Manis sekali.
Kulirik jam di dinding, sudah pukul 18.15. Setelah berpamitan pada Mbah Kiya, kami pun bergegas. Jalanan petang ini penuh sesak dengan orang-orang yang baru pulang dari tempat kerja. Kurasakan mereka begitu tergesa-gesa, barangkali sudah tak kuat untuk meluapkan kerinduan pada anak - istri, dan keluarga tercinta.
Sepanjang jalan putri kecilku tiada henti bersenandung. Sholawat-an ala Sabyan yang menjadi andalan. “Ibuk, nanti pas jalan-jalan, Kiya maunya naik motor Om Fathkul ya.” pintanya tiba-tiba.
“Lhoh. Kenapa? Ya sama Ayah Ibu aja to sayang.” jawabku.
“Kiya pengen berdiri di depan. Kalau motore Ayah kan ndak bisa berdiri di depan. Ya, Bu. Plisss.” rayunya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. Menggemaskan sekali.
Tanpa terasa, sampailah kami di Bibit Buahku. Karena takut kemalaman, kami pun segera berangkat ke tempat tujuan. Tentu saja, kali ini Kiya sudah asyik menikmati terpaan angin malam dari motor Omnya. Sementara Ayah Ibu bisa bebas pacaran sepanjang jalan, tanpa gangguan.
***
Selamat Datang di Hutan Wisata Tinjomoyo Semarang
Tulisan yang terpampang pada gerbang berwarna biru dan merah menyambut kami dengan megah.
Sepi, sunyi, tak berpenghuni. Sebenarnya ada sedikit kecemasan yang menghantui ketika ayah memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah Om Heri malam-malam begini. Pasalnya, jalan menuju rumah Om Heri yang mudah dilalui hanyalah hutan Tinjomoyo ini.
Dulu, hutan Tinjomoyo merupakan kebun binatang yang terkenal di kota Semarang. Selain keasrian alam, dan luas wilayahnya, letaknya yang jauh dari keramaian metropolis menjadi daya tarik sendiri. Namun, semenjak jembatan penghubung terputus diterjang banjir bandang pada tahun 2007, kebun binatang ini resmi ditutup. Terbayang sudah bagaimana sepinya hutan ini setelah sekian lama tak berpenghuni.
Menyusuri rimbunnya hutan Tinjomoyo di pagi dan siang hari tentu menjadi wisata alam yang menyenangkan, tetapi jika malam hari? Ah … mendadak bulu kudukku berdiri. Rasanya ingin kupejamkan mata, untuk menghalau kecemasan yang mendera. Sesekali kulirik ke samping, berbagai prasangka mendadak bermunculan tanpa dapat kukendalikan. Bagaimana kalau tiba-tiba ada begal yang menghadang kami? Atau jika makhluk halus penghuni hutan ini mendadak mengejutkan kami? “Ya Allah, lindungi kami.” pintaku dalam hati, dan kurapatkan pelukan pada pinggang suamiku.
Mulutku tiada henti merapal doa-doa untuk menghalau rasa takut yang tak kunjung hilang. Jaket tebal dan kaos kaki yang kukenakan tak mampu melindungi tubuhku dari rasa dingin yang menyerang. Kurasakan angin malam berembus dengan kencang, mengalirkan rasa dingin dari ubun-ubun hingga ujung kaki. “Astaghfirullah!” pekikku seketika. Sepasang binatang menghadang kami di persimpangan jalan. Hanya patung. Syukurku penuh kelegaan.
Tak selang lama, cahaya-cahaya berkilauan mulai tampak di depan. Alhamdulillah, akhirnya sampailah kami di tempat tujuan.
***
“Mau yo lewat alas kono kui, Pit?” tanya Om Heri setelah kami dipersilahkan masuk dan bercerita ke sana kemari. “Ora wedi?” tanyanya kembali sambil tersenyum penuh arti.
Belum sempat kami menjawab, Om Fathkul pun bercerita, “Jare Kiya. Ih, gelap ik. Kiya takut gelap, Om. Ada Nabi Muhammad ndak ya di sini?”, “Nabi Muhammad kan di jantung Kiya. Ah, Kiya ndak usah takut lagi.”
Dan kami semua pun tertawa karenanya.
__
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis 10 hari Najmubooks Publishing.
#TM10Najmubooks
#TM10Najmubooks
Posting Komentar
Posting Komentar