header coretan ibu kiya

Living Books

Posting Komentar
Oleh Nining Purwanti

Beatrix Potter
Natur Walk

Pagi itu kami memulai perjalanan berdua. Tak jauh dari rumah, tetapi sangat bermakna. Tak hentinya ia bertanya mengenai hal-hal baru yang ditemuinya, sesekali ia akan bersorak kegirangan menunjukkan bunga, kayu, pohon sambil mengungkapkan rasa takjub.


Ya, barangkali benda-benda itu biasa saja bagi kita, tetapi anak itu memaknai dengan cara yang berbeda. Setiap hal yang ia temui, selalu memantik hasrat untuk mendekati, dan menggali lebih dalam lagi.

Ah, tak terbayangkan jika rasa ingin tahunya yang begitu besar tak terpuaskan apalagi sampai terabaikan. Barangkali inilah penyebab terbesar matinya kreativitas dan fitrah belajar.

Berbeda dari dua hari yang lalu, kuajak ia melalui jalan baru. Menjejakkan kaki di pematang sawah dengan perlahan. Sesekali perjalan kami terhenti saat menemukan kepiting, kecebong, kulit ular selepas nglungsungi, dan berbagai objek yang menarik hati.

Natur walk
Menikmati Pagi


Natur walk
Jalan-jalan

“Ibu duduk di situ ya. Kiya mau main pasir,” ucapnya begitu sampai di lapangan. Sebuah tempat yang beberapa hari belakangan ia sambangi untuk memuaskan hasratnya menggambar dengan jari.

Menggambar di atas pasir

Halo, Puti malu.

Aku pun memilih duduk di tepi lapangan, membelakangi pancaran sinar, lumayan bisa sekalian dede. Memberi nutrisi pada tulang yang sudah mulai rapuh ditempa pekerjaan tak beraturan.

Sang mentari kian menyengat, kami pun berpindah tempat. Menuruti keinginannya untuk melongok ke sungai dari tepi jembatan.

Beatrix Potter
Bercengkrama dengan Jemima dan Rebecca

“Ih … ada bebek,” teriaknya kegirangan.

“Itu bukan bebek sayang, coba lihat warna bulu, dan bentuk tubuhnya. Bebek yang biasa Kiya lihat di sawah itu warna apa?” ucapku menanggapi.

“Coklat. Lha apa?” tanyanya antusias.

“Entok. Disebut juga itik.”

“Wah, Jemima! Rebecca! Pak Drake Itik!” Matanya berbinar-binar.

“Kok nggak bunyi ‘ipat ipit’, Buk?”

Hahaaa … ingatanku seketika tertuju pada buku Beatrix Potter yang baru seminggu lalu kami terima. Ya Allah, inikah yang disebut living books?

Aku pun mengajaknya turun ke bawah jembatan, untuk bercengkerama lebih dekat dengan objek yang memantik rasa keingintahuan. Benar saja, meski tak begitu dekat, berbagai tanya terlontar dari mulut mungilnya.

“Kenapa mulutnya kaya gitu, Buk?” “Makanannya itik apa, Buk?”
“Ih, lucu … Kiya kalau renang kakinya juga kaya gitu ya, Buk?”

Pertanyaan demi pertanyaan tiada henti ia lontarkan setiap kali Ibu selesai memberi jawaban. Bahkan hingga perjalanan pulang, rasa ingin tahunya tak jua padam.

“Buk, tadi kan itiknya ada banyak. Kiya mau kasih nama semua ya. Yang putih Jemi, yang renang tadi … mmm, siapa ya?”
Kami pun menikmati perjalanan pulang dengan mendiskusikan nama serta tingkah polah itik yang baru saja ditemuinya.

***

Sore hari saat sang ayah pulang, ia asyik menarasikan apa yang ditemui dalam petualangan singkat tadi pagi.

Sementara ibu kembali merenung, dan mulai merasakan getar-getar cinta pada living books yang selama ini hanya tahu teorinya saja.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Cinta yang Berpikir karya Ellen Kristi.

“Anak-anak harus  memperoleh buku-buku, pustaka yang inspiratif; bagi mereka tak ada istilah buku yang 'terlalu bagus’, semua yang kurang dari 'terbagus’ berarti belum cukup baik. Mereka harus tumbuh besar bersama karya-karya paling unggul. Jangan pernah membiarkan mereka  membaca atau menyimak twaddle, karya picisan” (Vol. 2, hlm. 279, 263)

Di dalam living books ada ide-ide berharga yang menggerakkan anak untuk mengingat, merenungkan, atau memvisualisasikannya. Ide-ide yang masih akan mengeram dalam benaknya lama setelah ia selesai membaca buku itu. Ide-ide yang menggugah, membangun kepribadian anak secara positif, dituturkan dalam bahasa yang indah dan biasanya naratif (berkisah). Jika disertai ilustrasi, maka ilustrasi itu pun dikerjakan dengan sungguh-sungguh, berkarakter.

Buku-buku seperti ini selalu ditulis oleh pengarang berdedikasi yang kompeten pada bidangnya dan menulis dengan jiwanya – sebagian dari jiwa itu tertinggal di halaman-halaman bukunya. Dia bicara tentang nilai, menyajikan sikap moral, tapi tanpa sikap menggurui yang cerewet. Alih-alih mendikte pemahaman pembaca, living books memberikan ruang bagi mereka untuk membuat penafsiran sendiri.

Hari ini kami benar-benar mencecap nikmatnya cita rasa living books yang selama ini mengusik jiwa dan mengundang banyak tanya.

***

Sumber referensi :
Kristi, Ellen. 2016. Cinta yang Berpikir: Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Masson. Semarang : Ein Institute.

___

#komunitasonedayonepost
#ODOPbatch6







Nining Purwanti
Selamat datang di blog Ibu Kiya. Ibu pembelajar yang suka baca, kulineran, jalan-jalan, dan nonton drama Korea. Selamat menikmati kumpulan coretan ibu Kiya, semoga ada manfaat yang didapat ya. ��

Related Posts

Posting Komentar