 |
| www.pixabay.com |
Hei. Bagaimana kabar si dia. Kudengar suka berbuat onar dalam keluarga. Semua orang dimusuhinya. Karena ingin menjadi nyonya tunggal di sana.
Hhh! Berita macam apa ini. Baru juga beberapa hari aku tinggal di sini. Sudah kau cekoki dengan cerita yang tak berarti. Tanpa malu kau korek kedalaman isi rumah kami. Hanya demi kepuasan pribadi.
Kau kira aku seperti mereka? Yang mudah percaya dengan mulut manis orang yang belum kukenal sepenuhnya. Lalu dengan mudahnya menceritakan apa saja. Hahaa ... Yang benar saja.
Aku tersenyum getir. Mendengarkan berbagai cerita yang sudah dipelintir. Sungguh, aku tahu betul cerita yang sebenarnya. Tapi aku memilih untuk diam saja. Membiarkan mereka puas dengan bualannya.
Ah, bagaimana jika yang diajak bicara pihak satunya. Orang yang sudah jelas menaruh dendam sejak lama. Sudah pasti akan mudah terbakar amarahnya. Tanpa peduli hubungan keluarga yang sudah mengikatnya.
Kulihat senyuman palsumu siang itu. Asyik bercakap dengan dia yang kuanggap sebagai saudara kandungku. Hingga kecemasan mulai menghantuiku.
Benar saja. Belum sehari ketakutanku menjadi nyata. Kata-kata tak pantas itu bertengger manis di laman facebooknya. Haruskah aku mengklarifikasi, atau memberi tahu kebenarannya? Ah, mana mungkin dia percaya. Baiklah. Aku memilih untuk berdiam diri saja.
Bukan. Bukan karena aku takut. Hanya ingin menghindari berbicara saat sedang kalut. Supaya tidak membuat keadaan semakin carut marut. Karena emosi kami sedang mudah tersulut.
Sabar, Nak. Jangan kau masukkan ke dalam hati. Memang seperti itulah kondisi di sini. Orang begitu mudah memprovokasi. Mengadu domba ke sana ke mari. Tanpa peduli seberapa dalam luka hati yang dikuliti.
Bukan. Bukan kami tak tahu semuanya. Tapi kami memilih tutup telinga. Demi kebaikan bersama. Terima kasih, engkau mau memahami keadaannya. Hadirmu di sini menjadi pelipur lara. Semoga Allah senantiasa menjaga keutuhan keluarga besar kita.
Hhh! Berita macam apa ini. Baru juga beberapa hari aku tinggal di sini. Sudah kau cekoki dengan cerita yang tak berarti. Tanpa malu kau korek kedalaman isi rumah kami. Hanya demi kepuasan pribadi.
Kau kira aku seperti mereka? Yang mudah percaya dengan mulut manis orang yang belum kukenal sepenuhnya. Lalu dengan mudahnya menceritakan apa saja. Hahaa ... Yang benar saja.
Aku tersenyum getir. Mendengarkan berbagai cerita yang sudah dipelintir. Sungguh, aku tahu betul cerita yang sebenarnya. Tapi aku memilih untuk diam saja. Membiarkan mereka puas dengan bualannya.
Ah, bagaimana jika yang diajak bicara pihak satunya. Orang yang sudah jelas menaruh dendam sejak lama. Sudah pasti akan mudah terbakar amarahnya. Tanpa peduli hubungan keluarga yang sudah mengikatnya.
Kulihat senyuman palsumu siang itu. Asyik bercakap dengan dia yang kuanggap sebagai saudara kandungku. Hingga kecemasan mulai menghantuiku.
Benar saja. Belum sehari ketakutanku menjadi nyata. Kata-kata tak pantas itu bertengger manis di laman facebooknya. Haruskah aku mengklarifikasi, atau memberi tahu kebenarannya? Ah, mana mungkin dia percaya. Baiklah. Aku memilih untuk berdiam diri saja.
Bukan. Bukan karena aku takut. Hanya ingin menghindari berbicara saat sedang kalut. Supaya tidak membuat keadaan semakin carut marut. Karena emosi kami sedang mudah tersulut.
Sabar, Nak. Jangan kau masukkan ke dalam hati. Memang seperti itulah kondisi di sini. Orang begitu mudah memprovokasi. Mengadu domba ke sana ke mari. Tanpa peduli seberapa dalam luka hati yang dikuliti.
Bukan. Bukan kami tak tahu semuanya. Tapi kami memilih tutup telinga. Demi kebaikan bersama. Terima kasih, engkau mau memahami keadaannya. Hadirmu di sini menjadi pelipur lara. Semoga Allah senantiasa menjaga keutuhan keluarga besar kita.
___
#TantanganProsaLiris
#komunitasonedayonepost
Kayak situasi politik yaa bund 😢
BalasHapusSo hotss
BalasHapusmantaf...
BalasHapusSaking manisnya, sampai eneg ya mba... 😁
BalasHapus